Firman Allah yang bermaksud;
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,”
[Surah Al-Mulk : Ayat 2]
Manusia di dunia ini selalu mendapatkan kenikmatan dan kepedihan. Terkadang mereka menjadi lemah ketika mendapatkan penderitaan hingga mengalami kehinaan. Dan terkadang mendapatkan kenikmatan yang berlimpah sehingga menjadi sewenang-wenang atau melampaui batas. Yang dituntut dari kita adalah tidak menyeleweng dan tidak sombong serta tetap teguh dalam keimanan tatkala menghadapi dua keadaan tersebut.
Selama hidup, kita tidak mungkin terbebas dari ujian yang selalu datang. Allah S.W.T. menguji kita untuk mengetahui sejauh mana reaksi kita dalam mengatasi suatu masalah. Allah S.W.T. memberikan penilaian kepada kita sesuai dengan sikap kita terhadap ujian yang kita hadapi. Hidup ini memang penuh dengan ujian, sebagaimana firman Allah S.W.T;
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setitis mani yang bercampur [1535] yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat.”
[1535] Maksudnya: bercampur antara benih lelaki dengan perempuan.
[Surah Al-Insaan : Ayat 2]
Penderitaan yang menimpa kita menunjukkan kelemahan kita sebagai manusia. Sayangnya, ketika tertimpa kesengsaraan, banyak orang yang berburuk sangka kepada Allah. Lalu menjadi kufur, disebabkan menganggap Allah tidak adil dengan memberikan penderitaan itu kepadanya. Na’udzu billahi mindzalik.
Kesenangan hidup merupakan kurnian Allah yang akan dimintai pertanggungjawabanNya. Orang yang menjadi kufur kerana kesenangan lebih banyak lagi dari orang yang ingkar kerana penderitaan. Jadi, keduanya sama berbahaya bagi menstabilkan keimanan seseorang.
Seorang yang sedar akan berhati-hati terhadap penderitaan atau kesenangan, sehingga tidak terperosok dalam kelalaian. Ia melihat setiap yang menimpa dirinya, baik duka mahupun gembira ujian dari Allah dan itu pula merupakan takdir dari Allah.
Firman Allah S.W.T. yang bermaksud;
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,”
[1459] yang dimaksud dengan terlalu gembira: ialah gembira yang melampaui batas yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan dan lupa kepada Allah.
[Surah Al-Hadid : Ayat 22 – 23]
Ujian Penderitaan
Penderitaan merupakan salah satu realisasi ujian Allah. Di saat menderita sebagai orang yang beriman, kita terasa terusik untuk mengetuk pintu Allah dalam erti kata memohon keampunan, keselamatan dan mengharapkan kasih sayangNya. Dengan demikian, setiap penderitaan merupakan saranan untuk mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. Bukankah Rasulullah s.a.w. telah bersabda; “Hendaklah seseorang mengucapkan kalimat Irtirjaa’ ketika tertimpa musibah (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Sesungguhnya kita ini hanyalah milik Allah dan kepadaNyalah kita kembali.” Sekalipun mengenai tali sandal/kasut yang putus kerana hal itu termasuk dalam hal musibah.
Dengan sikap ini seorang muslim sentiasa mengharapkan pertolongan Allah dalam seluruh hidupnya. Cara ini membuat persoalan menjadi mudah kerana dikembalikan kepada yang Maha Berkuasa. Pengaduan terhadap Allah merupakan usaha untuk mendekatkan diri kepadaNya.
Ia mengandungi hikmah yang jauh lebih besar dari penderitaan kurniaan Allah baik yang telah ada pada diri kita mahupun yang akan diberikan bagi mereka yang bersabar menanggungnya. Sayangnya banyak orang yang enggan mengadukan masalah kepada Allah untuk memohon perlindungan dan bimbinganNya. Inilah di antara makna sabar yang diajarkan Islam kepada kita.
Ujian Berupa Kesenangan
Sebaliknya kesenangan hidup seringkali melalaikan manusia. Mereka terjebak dengan perangkap yang menipu dan merasa diri sebagai orang yang sukses kerana hasil ilmu atau usahanya sendiri. Padahal tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan izain Allah.
Orang yang beriman tatkala menghadapi sesuatu yang menyenangkan segera bersyukur kepada Allah. Ia tidak akan lupa kepada Allah Yang Maha Pemberi Nikmat. Dan menyalurkan kurnian Allah itu pada jalan Allah sebagai merealisasikan rasa syukur dan untuk meningkatkan ketaatan kepadaNya. Dengan demikian kenikmatan menjadi pangkal untuk mendekatkan diri kepada Allah pula. Dengan demikian, orang-orang yang mukmin selalu berada dalam dua keadaan ini iaitu sabar dan syukur.
Rasulullah menyampaikan kekagumannya pada sikap orang yang beriman; “Sungguh mengagumkan urusan kaum mukmin. Seluruh aktivitinya menjadi kebaikan baginya. Dan yang demikian itu hanya ada pada orang yang beriman. Bila ia ditimpa kesulitan ia bersabar. Maka itu baik baginya dan bila ia mendapat kesenangan, maka ia bersyukur dan itupun baik baginya.”
[Riwayat Bukhari & Muslim]
Orang yang mukmin tidak mudah tertipu dengan kesenangan hidup. Ia menyedari bahawa kesenangan merupakan ujian Allah. Dengan ujian ini Allah akan menilai apakah ia bersyukur atau kufur terhadapnya. Nabi Sulaiman diberikan Allah dengan harta, kekuasaan yang luas juga bersyukur kepada Allah untuk mendapatkan ilham supaya tetap mesyukuri nikmat Allah, dan supaya dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba Alah yang soleh.
Dan sebaliknya, sesungguhnya Rasulullah mengajar umatnya untuk tetap sabar serta tabah dan menganggap penderitaan yang dihadapi sebagai ujian untuk memperolehi keredhaan Allah dan kenikmatan akhirat yang jauh lebih kekal.
AHP: Kredit kepada As.
p/s- Bukankah jelas bahawa sabar dan syukur itu sama-sama penting?